Jakarta, Sinar Harapan
Kota besar seperti Jakarta bukan lagi tempat yang sehat untuk membesarkan anak. Setiap hari seorang anak harus menghirup asap hitam knalpot kendaraan umum. Selain pelbagai penyakit infeksi saluran pernapasan (ISPA), ada yang lebih mengancam anak-anak kita, yakni menderita penurunan Intelligent Quotient (IQ) otak.
”Pengaruhnya tidak langsung dirasakan oleh anak, melainkan berlangsung sejak dalam kandungan. Kandungan zat berbahaya seperti logam berat pada emisi kendaraan akan terhisap oleh si ibu, dan mengalir melalui darah menembus ari-ari sebagai barrier.
Semua kandungan logam berat tadi mengganggu pertumbuhan dan fungsi otak ketika janin itu dilahirkan,” jelas Dr. Monang Tampubolon, spesialis kesehatan anak dan dosen Fakultas Kedokteran Ukrida saat dihubungi di Jakarta, Kamis (3/4).
Dari air susu ibu (ASI), polutan berbahaya dapat pula ”mencemari” otak bayi. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) DKI Jakarta sempat mengadakan studi pada 2001 yang menyatakan bahwa ibu-ibu di pinggiran kota memiliki ASI berkadar timbel 10 -30 ug per kilogram.
Kadar ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pedesaan, yakni satu sampai dua ug per kilogram. Polutan timbel yang terdapat dalam solar mampu memicu gangguan kesehatan kaum perempuan dan balita. Ion-ion timbel ini berimbas pada perkembangan sel-sel otak balita.
Sebagian besar kendaraan bermotor di kota-kota besar masih menggunakan bahan bakar fosil seperti hidrogen (H) dan karbon (C). Hasil pembakarannya memunculkan senyawa Hidro Karbon (HC), karbon monoksida (CO), karbon dioksida (Co2) juga Nox. Namun akibat menghemat, banyak kendaraan yang masih menggunakan solar sebagai bahan bakar. Solar menghasilkan senyawa berbahaya, timbel alias plumbum (Pb).
Polutan inilah yang menjadi pemicu gangguan fungsi otak yang utama. CO lebih menyerang ke anak-anak dan orang dewasa secara langsung, yakni menyebabkan kepala pusing, pandangan menjadi kabur, bahkan bisa pingsan dan kehilangan koordinasi saraf. Di luar ancaman penurunan tingkat kecerdasan, polusi udara juga memicu bronkitis, pneumonia, asma serta gangguan fungsi paru.
Angka Kematian Tinggi
Bukan janin dalam kandungan saja yang ikut terancam kehilangan kualitas kecerdasan, tapi juga anak-anak dalam masa tumbuh kembang. Timbel alias timah hitam ikut mencemari sayur dan buah-buahan yang dikonsumsi anak-anak. Beberapa tahun yang lalu United Nations Environmental Programme (UNEP) telah menempatkan Jakarta sebagai kota terpolusi nomor tiga di dunia setelah Meksiko dan Bangkok. Bisa dibayangkan betapa parahnya ancaman polutan emisi gas buang di metropolitan ini.
Padahal tanpa harus berhadapan dengan fakta tersebut, anak Indonesia sudah tergolong lemah dan memiliki angka kematian tinggi. Berdasar catatan UNICEF, laju tingkat kematian anak Indonesia termasuk tinggi dibanding negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Sebagai perbandingan, tahun 1997 tingkat kematian anak di Jakarta mencapai 28, di Kalimantan 67, di NTB mencapai angkat 81 perseribu kelahiran. Sedangkan di Thailand hanya 30, dan Malaysia hanya sembilan.
Menurut Monang, mayoritas anak Indonesia lebih rentan terserang penyakit dibanding dengan anak dari negara lain. Ini tak lain dipicu masalah kurang gizi yang sejak lama menjadi kendala utama pembangunan bangsa.
Departemen Kesehatan (Depkes) mencatat bahwa pada 1999 ada sekitar delapan persen anak Indonesia kekurangan gizi. Ini artinya ada sekitar 1,8 juta anak balita di seantero Indonesia menderita malnutrisi. Namun realitas yang ada di lapangan bisa lebih dari itu.
”Walaupun gizi masih menjadi masalah utama anak Indonesia, pada akhirnya penyakit yang timbul akibat pencemaran udara akan menjadi parah pula,” tutur dokter yang membuka praktik di bilangan Kalibata ini. Keduanya sama-sama berdampak buruk, yakni merosotnya tingkat IQ.
Di Jakarta dan kota besar lain masalah gizi bisa jadi tidak separah di daerah. Selaras dengan itu, kualitas kecerdasan mereka yang mendapat asupan gizi cukup akan membaik juga. Namun di banyak daerah kekurangan gizi, perkembangan otaknya terhambat. Maka Monang tidak heran kalau pelajar yang berhasil tembus perguruan tinggi negeri lebih banyak berasal dari kota besar di mana kebutuhan gizinya terpenuhi.
Hal lain yang patut dicermati adalah polusi udara akibat asap rokok. Monang berpendapat bahwa hingga saat ini belum ada penelitian apakah asap rokok termasuk zat berbahaya bagi otak anak. Yang jelas, ibu hamil yang menghisap rokok bisa berakibat fatal terhadap janin yang dikandungnya.
Pembuluh darah sang ibu akan mengecil sehingga suplai darah ke calon bayi terhalang. Akan banyak dampak yang diderita bayi di samping sekadar pertumbuhan badan yang terlambat, namun juga kemampuan mentalnya.
”Gizi memang masih menjadi faktor utama perkembangan otak. Tapi kita juga jangan meremehkan faktor lain seperti polusi udara,” ujar Monang. Dan yang memprihatinbkan, kendati polusi udara di Indonesia tergolong tinggi, tidak ada satu pun ahli kesehatan udara yang tersedia. Bahkan bidang studinya pun belum tersedia di semua perguruan tinggi. Padahal, menurut Monang, di banyak negara maju kehadiran seorang dokter ahli kesehatan udara sangat diperlukan dalam pembangunan proyek-proyek gedung di kota besar. (mer)
Sumber : www.sinarharapan.co.id (2003)
Kota besar seperti Jakarta bukan lagi tempat yang sehat untuk membesarkan anak. Setiap hari seorang anak harus menghirup asap hitam knalpot kendaraan umum. Selain pelbagai penyakit infeksi saluran pernapasan (ISPA), ada yang lebih mengancam anak-anak kita, yakni menderita penurunan Intelligent Quotient (IQ) otak.
”Pengaruhnya tidak langsung dirasakan oleh anak, melainkan berlangsung sejak dalam kandungan. Kandungan zat berbahaya seperti logam berat pada emisi kendaraan akan terhisap oleh si ibu, dan mengalir melalui darah menembus ari-ari sebagai barrier.
Semua kandungan logam berat tadi mengganggu pertumbuhan dan fungsi otak ketika janin itu dilahirkan,” jelas Dr. Monang Tampubolon, spesialis kesehatan anak dan dosen Fakultas Kedokteran Ukrida saat dihubungi di Jakarta, Kamis (3/4).
Dari air susu ibu (ASI), polutan berbahaya dapat pula ”mencemari” otak bayi. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) DKI Jakarta sempat mengadakan studi pada 2001 yang menyatakan bahwa ibu-ibu di pinggiran kota memiliki ASI berkadar timbel 10 -30 ug per kilogram.
Kadar ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pedesaan, yakni satu sampai dua ug per kilogram. Polutan timbel yang terdapat dalam solar mampu memicu gangguan kesehatan kaum perempuan dan balita. Ion-ion timbel ini berimbas pada perkembangan sel-sel otak balita.
Sebagian besar kendaraan bermotor di kota-kota besar masih menggunakan bahan bakar fosil seperti hidrogen (H) dan karbon (C). Hasil pembakarannya memunculkan senyawa Hidro Karbon (HC), karbon monoksida (CO), karbon dioksida (Co2) juga Nox. Namun akibat menghemat, banyak kendaraan yang masih menggunakan solar sebagai bahan bakar. Solar menghasilkan senyawa berbahaya, timbel alias plumbum (Pb).
Polutan inilah yang menjadi pemicu gangguan fungsi otak yang utama. CO lebih menyerang ke anak-anak dan orang dewasa secara langsung, yakni menyebabkan kepala pusing, pandangan menjadi kabur, bahkan bisa pingsan dan kehilangan koordinasi saraf. Di luar ancaman penurunan tingkat kecerdasan, polusi udara juga memicu bronkitis, pneumonia, asma serta gangguan fungsi paru.
Angka Kematian Tinggi
Bukan janin dalam kandungan saja yang ikut terancam kehilangan kualitas kecerdasan, tapi juga anak-anak dalam masa tumbuh kembang. Timbel alias timah hitam ikut mencemari sayur dan buah-buahan yang dikonsumsi anak-anak. Beberapa tahun yang lalu United Nations Environmental Programme (UNEP) telah menempatkan Jakarta sebagai kota terpolusi nomor tiga di dunia setelah Meksiko dan Bangkok. Bisa dibayangkan betapa parahnya ancaman polutan emisi gas buang di metropolitan ini.
Padahal tanpa harus berhadapan dengan fakta tersebut, anak Indonesia sudah tergolong lemah dan memiliki angka kematian tinggi. Berdasar catatan UNICEF, laju tingkat kematian anak Indonesia termasuk tinggi dibanding negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Sebagai perbandingan, tahun 1997 tingkat kematian anak di Jakarta mencapai 28, di Kalimantan 67, di NTB mencapai angkat 81 perseribu kelahiran. Sedangkan di Thailand hanya 30, dan Malaysia hanya sembilan.
Menurut Monang, mayoritas anak Indonesia lebih rentan terserang penyakit dibanding dengan anak dari negara lain. Ini tak lain dipicu masalah kurang gizi yang sejak lama menjadi kendala utama pembangunan bangsa.
Departemen Kesehatan (Depkes) mencatat bahwa pada 1999 ada sekitar delapan persen anak Indonesia kekurangan gizi. Ini artinya ada sekitar 1,8 juta anak balita di seantero Indonesia menderita malnutrisi. Namun realitas yang ada di lapangan bisa lebih dari itu.
”Walaupun gizi masih menjadi masalah utama anak Indonesia, pada akhirnya penyakit yang timbul akibat pencemaran udara akan menjadi parah pula,” tutur dokter yang membuka praktik di bilangan Kalibata ini. Keduanya sama-sama berdampak buruk, yakni merosotnya tingkat IQ.
Di Jakarta dan kota besar lain masalah gizi bisa jadi tidak separah di daerah. Selaras dengan itu, kualitas kecerdasan mereka yang mendapat asupan gizi cukup akan membaik juga. Namun di banyak daerah kekurangan gizi, perkembangan otaknya terhambat. Maka Monang tidak heran kalau pelajar yang berhasil tembus perguruan tinggi negeri lebih banyak berasal dari kota besar di mana kebutuhan gizinya terpenuhi.
Hal lain yang patut dicermati adalah polusi udara akibat asap rokok. Monang berpendapat bahwa hingga saat ini belum ada penelitian apakah asap rokok termasuk zat berbahaya bagi otak anak. Yang jelas, ibu hamil yang menghisap rokok bisa berakibat fatal terhadap janin yang dikandungnya.
Pembuluh darah sang ibu akan mengecil sehingga suplai darah ke calon bayi terhalang. Akan banyak dampak yang diderita bayi di samping sekadar pertumbuhan badan yang terlambat, namun juga kemampuan mentalnya.
”Gizi memang masih menjadi faktor utama perkembangan otak. Tapi kita juga jangan meremehkan faktor lain seperti polusi udara,” ujar Monang. Dan yang memprihatinbkan, kendati polusi udara di Indonesia tergolong tinggi, tidak ada satu pun ahli kesehatan udara yang tersedia. Bahkan bidang studinya pun belum tersedia di semua perguruan tinggi. Padahal, menurut Monang, di banyak negara maju kehadiran seorang dokter ahli kesehatan udara sangat diperlukan dalam pembangunan proyek-proyek gedung di kota besar. (mer)
Sumber : www.sinarharapan.co.id (2003)
0 comments:
Post a Comment